Pemuda di Pinggir Jalan
Refleksi
Sesaat di Hari Sumpah Pemuda
“ SOEMPAH PEMOEDA “
SATOE : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
DOEA :KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA
TIGA :KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHSA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA
DJAKARTA, 28 oktober 1928
Pemuda
adalah penggerak dari setiap perubahan yang terjadi, pemuda adalah tonggak bagi
kemajuan sebuah negara, dan pemuda adalah harapan di dalam kehidupan, kehidupan
yang sudah berjalan selama berjuta tahun, dan pemuda adalah titik terang di
dalam semua kegelapan yang telah ada selama ini. Titik yang selalu di cari
walau berada di dalam kehampaan.
86
Tahun yang lalu kita diingatkan oleh sekelompok pemuda yang berani bersumpah
tentang kesatuan tumpah darah, kesatuan bangsa, dan kesatuan berbahasa,
Indonesia. Sekelompok pemuda yang menggunakan masa mudanya untuk memperjuangkan
kemerdekaan bangsanya sendiri. Pemuda dengan semangat menggelora, menahan rasa
sakit dari tarikan otot saat mengeluarkan kata – kata impian yang terus
mengalir di dalam darah setiap pemuda yang hidup di era itu. MERDEKA. 86 Tahun
nampaknya adalah waktu yang cukup lama untuk menghapus cerita - cerita
kebangsaan di kalangan pemuda yang hidup di era kekinian, era yang sudah tidak
lagi mepermasalahkan makna, melakukan apapun walaupun hanya sekedar suka, era
yang sudah tidak lagi peduli dengan keadaan negeri. Individualis, bergerak
sendiri untuk memajukan diri sendiri.
Kehidupan pemuda dewasa ini ibarat
jalan yang terbentang lebar dipenuhi dengan ratusan, ribuan, bahkan jutaan
kendaraan yang mempunyai tujuannya masing – masing. Berlawanan arah,
bersinggungan, bahkan kadang sampai bertabrakan antara satu dengan yang lain.
Diibaratkan dengan kehidupan, Jalan juga seringkali mengajarkan kita ( Pemuda ) tentang arti dari
kesabaran yang di ajarkan oleh 3 lampu yang biasanya terletak di ujung
percabangan jalan, dan seringkali juga kita diperlihatkan dengan orang - orang
yang tidak bisa menerima pelajaran dari arti sabar, orang yang menerobos lampu lalu
lintas. Pemuda Indonesia sudah tidak lagi mengerti tentang pentingnya
kesabaran, jangan besar bicara dulu tentang sebuah bangsa yang akan maju
beberapa tahun lagi, berbicara tentang menunggu 3 lampu yang tidak lebih lama
dari 3,5 tahun menunggu kemerdekaan dari jajahan imperial jepang saja pemuda
tidak bisa melakukannya.
Masih
di dalam jalan, pemuda diajarkan untuk berfikir bersih tanpa rasa kesal dan
amarah yang begitu dalam, memaafkan saat bersinggungan dengan kendaraan lain
harusnya bisa dilakukan dengan mudah, hal yang sebenarnya kecil dan bisa
diselesaikan secara bersama.
Di jalan, beberapa jalan, kita juga
melihat orang dengan jasa yang besar namun dihargai kecil oleh orang banyak. Petugas
pintu kereta api, petugas kebersihan, dan masih banyak lagi orang – orang yang
bahkan tidak pernah ditanya apa harapan mereka untuk negara Indonesia
kedepannya, mereka hanya berfikir tentang tindakan nyata, besar, dan bermakna
bagi semua orang. Sangat miris ketika pemuda dengan wacana saja sudah berani
menghayal banyak bahwa Indonesia akan maju karena mereka. Pemuda di era ini
harus tau bahwa Indonesia akan maju bukan karena wacana yang dimiliki oleh
setiap pemuda, tapi maju karena tindakan yang dilakukan oleh mereka.
Terkadang, kita harus mengambil
jalan lain saat jalan yang kita tempuh sedang tidak bisa dilewati, berbalik
arah dan memutar jauh. Seperti kehidupan seorang pemuda yang harus mengambil
jalan hidup lain saat jalan yang sedang dijalani tidak sesuai harapan. Sayangnya,
bukan jalan putar yang diambil melainkan jalan pintas, Menerobos paksa walau
bayarannya adalah diri sendiri. Pemuda sering mencari kesenangan hidup lain
saat hidup mereka sedang dihadapkan pada suatu masalah, jalan pintas yang
sebenarnya tidak lebih baik dari jalan yang sedang diperbaiki. Itulah pemuda
kita, daya juang untuk meraih tujuan sangat jauh jika dibandingkan dengan
pemuda 86 tahun yang lalu ketika sumpah pemuda disuarakan, sumpah yang bisa
mempersatukan semua pemuda di seluruh pelosok daerah di Indonesia.
Di jalan, kita juga melihat orang –
orang yang berusaha keras mendapatkan uang untuk melanjutkan kehidupannya,
melihat tumpukan sampah yang menggunung, melihat masalah – masalah nyata yang
dimiliki oleh negeri ini. Masalah yang harus diselesaikan segera oleh pemuda,
harapan dari sebuah Negara.
Sayangnya, di jalan, tepatnya di pinggir jalan
seringkali juga kita menemukan pemuda yang ragu untuk menyebrang jalan, takut untuk
melawan gelombang kendaraan. Berbeda dengan pemuda 86 tahun yang lalu, pemuda
yang langsung memasuki jalan tanpa ragu untuk mencapai tujuannya, menghadapi
apa yang dia rasa sebagai masalah, walaupun ketika dia memasuki jalan banyak
kemungkinan untuk terluka parah sampai mengeluarkan darah, bahkan sampai
menaruhkan nyawa untuk memasuki dan melewati jalan yang penuh dengan kendaraan
lain, penuh dengan pelajaran, dan penuh dengan masalah.
86 tahun sudah pemuda Indonesia mencari arti dari pentingnya
" Sumpah Pemuda " dan silih berganti pula pemuda dari dekade ke
dekade mencoba mengulang nuansa nasionalisme saat deklarasi kesatuan yang
dicetuskan para pemuda Indonesia. Pada akhirnya, pilihan kembali lagi kepada
kita ( Pemuda ), apa kita ingin menjadi pemuda yang hanya diam di pinggir
jalan? melihat semua masalah yang ada di dalam jalan? Atau kita ingin menjadi
pemuda yang masuk ke dalam jalan? Berjuang dengan seluruh tumpah darah untuk
mempertahankan kesatuan Bangsa dan Negara Republik Indonesia.
Bogor, 28 oktober 2014
Komentar
Posting Komentar